Selasa, 04 Februari 2014

Hati yang Tersembunyi

Tahukah engkau, bahwa seperti apapun seorang wanita, dia tetap saja mempunyai hati. Meskipun yang terlihat dari wanita ini ialah dia pemain hati para pria, namun juga itu karena dia mencintaimu, duhai mantan kekasih. Tak tahukah engkau, sudah berapa banyak pria yang menyatakan cinta kepadanya namun dia tolak? Dan kau tahu mengapa alasannya? Karena ia masih belum bisa melupakanmu. Dia punya hati, kau lihat? Aku rasa tidak. Kau tidak dapat melihatnya. Karena sang wanita ini pandai sekali menyembunyikannya. Berusaha tegar di hadapanmu, di hadapan sahabat-sahabatnya dan teman-temannya. Namun sebenarnya hati wanita ini sangat rapuh. Dan kau, sang mantan kekasihlah yang mengakibatkannya. Kau yang menciptakan hatinya, namun kau pula yang menghancurkannya. Sungguh tega.

Yah.. Aku sebagai temannya hanya bisa berharap, semoga kelak suatu hari nanti ada seseorang yg mampu menjaga utuh hati wanita ini :)

Nisa R.I
04.02.2014

Selasa, 30 April 2013

Complicated Love


Aku menyayangimu.
Kau menyayanginya, dia yang sudah mempunyai kekasih.
Jikalau ini sebuah drama, kau dan aku akan dipersatukan.
Cerita cinta kita seirama,
cinta yang bertepuk sebelah tangan.
Namun, realita bukanlah drama.

Realita berkata lain.
Terkadang kata-katanya pun menyakitkan.
Ia berkata, bahwa kau dan aku tak mungkin bersatu.
Kita bagaikan dua tebing terpisah jurang.
Jurang itu amat luas.

Aku tidak akan pernah bisa menggapai hatimu.
Aku sendiri tahu kau terluka.
Karenanya aku dibuat bingung.
Akal sehatku berpikir untuk merelakanmu,
namun dia yg kau kagumi sudah milik orang lain.

Kemudian akal sehatku berpikir(lagi) untuk melupakanmu.
Tapi ternyata hatiku punya pikirannya sendiri.
Dia berpikir; jika melupakanmu berarti aku adalah orang jahat.
Sementara akal menjawab; tidak apa, sebab aku juga bukan siapa-siapa
bagimu.

Nisa R.I
29042013

Senin, 29 April 2013

I'll be Strong for The One I Loved

Meskipun aku sebenarnya sakit.
Meskipun aku sebenarnya lemah.
Namun, aku akan menjadi kuat untuk kau, kau yang kucinta.
Aku hanya akan merasakan indahnya saja.
Merasakan indahnya jatuh cinta.
Aku akan menepis semua luka, semua sakit.
Karena aku bukanlah Queen of Drama.
Meskipun entah mengapa, kerap kali kulihat kau bercengkrama dengannya, aku merasakan sakit itu.
Rasa sakit itu diluar kehendakku.
Namun ku coba untuk ikhlas.
Ku coba untuk menerima dan tak berharap.

Nisa R.I
30042013

Minggu, 28 April 2013

Right Here(part3)



Sebulan berselang semenjak Felice dan Austin menjadi sepasang kekasih. Namun, Felice menyadari suatu hal. Anggapannya bahwa Austin dapat menghapus Justin dari hatinya, ternyata salah. Sampai detik ini, Felice masih saja diam-diam memerhatikan Justin tanpa sadar. Memerhatikan Justin yang sedang berdiri di lokernya sembari mengobrol dengan teman-temannya. Felice menghela napas panjang. Kemudian Austin datang,

"Hey, what's the matter?" ucap Austin mengelus kepala Felice lembut.

Felice merasa sekarang waktunya untuk jujur kepada Austin, bahwa ia masih menyukai Justin.

"Austin, bisakah kita ke taman belakang sekarang? We need to talk.." Felice tersenyum tipis.

"Okay, sure." senyum Austin terkembang di wajahnya.

Mereka berjalan menuju taman belakang. Sesampainya di sana, mereka berdiri di depan air mancur kecil.

"Jadi, apa yang mau kau katakan padaku?" Austin tersenyum.

Felice menunduk resah, sambil menggigit bibirnya sesekali. Kemudian ia bertumpu pada kedua lengan Austin,

"Austin, aku.. aku minta maaf. Aku rasa kita cukup sampai disini saja." ucapnya sembari menunduk.

Austin sedikit tidak percaya, namun berusaha untuk tenang.

"Bisa kau beri tahu aku alasannya?" sekarang giliran Austin memegang pundak Felice.

"Aku.. ternyata aku masih menyukainya, menyukai Justin." Felice tertunduk lemas.

Austin perlahan melepaskan tangannya dari pundak Felice. Ia terdiam, tatapannya kosong. Felice membuka suara,

"Aku ingin bisa menyukaimu, tapi tak bisa. Aku tidak bisa membohongi perasaanku." Felice menatap Austin dengan berlinang air mata.

Mata austin memerah, tatapannya berubah menjadi geram. Ia pun mengepal tangannya. Spontan, ia mencekik leher Felice. Felice terkejut,

"Austin! Ada apa denganmu?!" ucapnya tersendat-sendat.

Beberapa saat kemudian, Austin melepas cekikannya dan beralih mencekram pergelangan tangan Felice. Kemudian ia menyeret Felice ke gudang tua. Sesampainya di sana, Austin menjatuhkan tubuh Felice di atas kursi dengan sangat keras. Felice mangaduh. Austin mencoba mengikat tangan Felice dengan tali yang kebetulan ia temukan di gudang itu.

"Austin. This isn't you!"

"Shut up!" ucap Austin yang sudah selesai mengikat tangan Felice ke belakang. Kini Austin beranjak dari tempatnya dan beridiri tepat di depan Felice,

"You don't know anything 'bout me!" mata austin membelalak tajam ke arah Felice.

Kemudian Austin mendekati Felice. Ia mencekram wajah Felice dan mendekatkan wajahnya. Jarak pandang mereka selisih 10 cm,

"Austin yang kau kenal sebagai malaikat itu, hanyalah sandiwara belaka. Dan, Austin yang sekarang ada di depanmu, adalah Austin yang sebenarnya."

Setelah selesai dengan kalimatnya, Austin melepaskan tangannya dari wajah Felice. Ia pun tertawa keras, tawa sang iblis. Kemudian ia memutar badannya membelakangi Felice.

Felice sangat terkejut. Ia terkejut melihat perubahan sikap Austin ditambah pernyataan yang dikatakannya barusan. Sesaat kemudian Austin membuka suara,

"Well, let me tell you something," ucap Austin yang kini kembali memutar badannya ke arah Felice.

Austin pun menceritakan semuanya. Semua itu di mulai semenjak dua tahun yang lalu. Ketika mereka masih duduk di tingkat 9 SMA. Saat itu Justin adalah anak baik-baik, sedangkan Austin adalah seorang bad boy. Austin seringkali berganti-ganti pasangan, berkelahi, namun ia bukan peminum.

Justin mempunyai teman masa kecil bernama Kenny. Mereka sudah sangat dekat, sampai suatu hari ketika Justin sudah mempunyai kekasih, kedekatan mereka sudah tidak seperti dulu lagi. Justin lebih sering menghabiskan waktu dengan kekasihnya. Kenny merasa sedih dengan itu. Karena sebenarnya Kenny amat sangat mencintai Justin.

Austin diam-diam memperhatikan Kenny. Sebenarnya Austin sudah lama tertarik dengan gadis itu, tapi ia tidak menggubrisnya. Sampai pada suatu hari, Austin melihat Kenny menangis karena Justin. Austin merasakan hal yang yang aneh. Dadanya terasa sakit melihat itu. Ia lebih suka melihat Kenny yang tersenyum. Mulai dari situ Austin sadar, Kenny-lah gadis yang dapat meluluhkan hatinya. Hubungan mereka menjadi dekat. Austin pun menggantikan posisi Justin yang belakangan ini sibuk dengan kekasihnya. Suatu hari, Austin menyatakan perasaannya kepada Kenny. Kenny menolaknya. Kenny bilang kalau hatinya tetap memilih Justin, meskipun Justin sudah bersama orang lain, dia rela, asalkan Justin bahagia. Hanya saj, hal yang mebuatnya menangis adalah Justin seperti sudah tidak menganggapnya ada.

Beberapa hari setelah itu, Kenny meninggal dunia. Austin mendengar bahwa penyebab kematian Kenny adalah kecelakaan. Ia dan Justin datang ke pemakaman Kenny, namun tidak bersama. Justin berangkat lebih dulu, menjemput kekasihnya. Sepulang dari pemakaman Kenny, sesampainya di rumah, Austin langsung menonjok Justin yang baru saja meletakkan gelas minumannya,
"Sekarang kau baru muncul di hadapannya setelah ia sudah meninggal?! Huh?!" Austin geram.

Justin hanya diam saja, tidak berani melawan.

"Baiklah, mulai besok dan seterusnya, kita bertukar peran! Kau menjadi aku dan aku menjadi kau. Agar kau bisa merasakan apa yang kurasakan dan Kenny rasakan!" ucap Austin tajam.

Justin melihat Austin yang tidak seperti biasanya. Austin seperti sudah dikuasai iblis. Namun, Justin merasa dirinyalah yang menyebabkan Austin seperti itu. Karenanya, Justin menurut saja dengan perintah Austin soal bertukar peran itu.

Setelah kejadian itu, Justin dan Austin pindah ke sekolah lain. Disitulah mereka bertukar peran. Di sebuah sekolah yang bernama Gliford High School, sebuah sekolah swasta yang bertempat di New York. Namun, pertukaran peran itu hanya dilakukan di luar apartemen.
***

To be continued_

Nisa R.I
28042013









Senin, 01 April 2013

Right Here(part 2)



Felicia mendengar bahwa Justin sedang tidak enak badan. Untuk itu dia memutuskan menjenguk Justin di UKS.  Belum sempat Felice masuk ke dalam, ia terkejut mendengar suara Justin dengan seorang perempuan. Senyum Felice yang menghiasi wajahnya sedari tadi, lenyap. Karena ia tahu Justin dan perempuan itu sedang bermesraan. Felice mengurungkan niat untuk masuk ke dalam. Ia memilih untuk berdiri di depan pintu UKS dan menyimak pembicaraan Justin dan perempuan penggoda itu. Ia sengaja membiarkan mereka, baru setelah itu ia berniat untuk memergoki wanita itu.

"So, apakah tidak apa-apa? Kau tidak takut jika kekasihmu itu marah?" ucap perempuan centil itu.

"Tenang saja.. Lagipula aku tidak benar-benar menyukainya." ucap Justin yang terkesan acuh.

"Mm, maksudmu?" tanya perempuan itu tak mengerti.

"Well, aku melakukan itu hanya untuk taruhan. Begitulah." ucapnya enteng.

Perempuan yang duduk di pangkuan Justin itu mengangguk mengerti. Kemudian kembali bermanja-manja ke Justin.

Kuping Felice yang mendengar itu memanas. Sebenarnya bukan hanya kupingnya saja, seluruh tubuhnya seperti dilumuri api yang siap membakar apa saja yang ada di dekatnya. Dengan tanpa aba-aba lagi, Felice masuk ke ruang UKS.

Felice berdiri tepat di depan Justin dan perempuan genit. Justin dan perempuan genit itu sama-sama terkejut. Melihat raut wajah Felice yang seperti akan membunuh mereka berdua. Namun yang paling ketakutan adalah perempuan genit itu, ia juga was-was.

"Justin, can, you, please, explain, THIS, to me?" Felice menekankan setiap kata pada pertanyaannya.

"Apa lagi yang mau di jelaskan, huh? Aku rasa kau sudah mendengar semuanya kan?" Justin menatap Felice dengan tatapan bad boy-nya.

Mata Felice panas melihatnya. Dadanya sesak. Felice kini tahu, inilah Justin yang sebenarnya. Dan penilaiannya selama ini salah. Dia memang seorang BAD BOY.

"You! Come with me!!" Felice menarik paksa tangan Justin, membawanya keluar dari UKS.

Justin melepas paksa cengkraman tangan Felice. Felice terkejut dan menoleh ke belakang, kepada Justin.

"Aku bisa jalan sendiri!" Justin meninggikan suaranya.

Felice kemudian berbalik menghadap ke depan, dan terus saja berjalan. Justin mengikuti di belakangnya.

Mereka sampai di taman belakang. Hanya ada mereka berdua di sana.

Plak!
Sebuah tamparan keras berhasil mendarat mulus di pipi Justin. Justin memegang pipi kirinya, sambil memainkan rahangnya yang di rasa pegal. Kemudian ia menatap Felice, menunggu kata-kata yang akan di lontarkan Felice. Felice juga menatap Justin, tatapan penuh emosi.

"Apa kau puas dengan semua ini?! Kau memanglah seorang  BAD BOY, Justin!!" ucap Felice geram.

"Bad boy adalah nama tengahku." jawab Justin.

Cairan bening yang sedari tadi ditahan oleh Felice itu pun pecah seketika,

"I hate you, Justin. We're over now." Felice menatap tajam Justin dengan air mata yang terus mengalir.

"Kalau begitu, kau dan aku sudah tidak ada urusan lagi mulai sekarang." ucap Justin.

Justin pergi begitu saja meninggalkan Felice sendirian di taman. Masih berdiri di tempatnya, Felice memejamkan matanya, menahan rasa sakit yang membuncah di dadanya. Tidak kuat menahan rasa sakitnya, Felice memutuskan untuk duduk di bangku taman. Ia terisak kencang di situ, menutup wajahnya dengan kedua tangan. Hubungannya dengan Justin pun hanya bertahan selama dua minggu. Dan itu tepat hari ini.

Ketika isakannya mulai mereda, Felice mendengar suara seorang lelaki,

"I'm sorry."

Felice yakin sekali itu bukan Justin, dan juga bukan orang yang ia kenal. Karena penasaran, Felice mencoba melepaskan tangan yang menutupi wajahnya dan melirik ke asal suara. Suara itu berasal dari sebelah kanannya. Dan benar saja, lelaki itu sedang duduk di sebelah Felice. Lelaki itu bernama Austin. Felice langsung tahu namanya begitu melihatnya. Ya, karena Austin adalah sepupu Justin. Dan Austin adalah kedua populer setelah Justin.

"Minta maaf untuk apa? Ini bukan salahmu." ucap Felice sembari mengusap sisa air matanya. Dia juga tersenyum di akhir kalimatnya.

"Kau tahu, dia adalah sepupuku. Jadi, aku minta maaf sebagai sepupunya. Dia memang orang yang seperti itu. Aku juga bingung menghadapinya." Austin tersenyum setelah mengucapkan kalimatnya.

"Tapi, bagaimana kau tahu kalau yang membuatku menangis adalah Justin?" Felice sedikit heran.

"Mengenai hal itu.. aku tadi tidak sengaja melihat kalian bertengkar. Maaf, aku tidak bermaksud menguping. Hahahaha."

"Ooh.. begitu. Hahaha. Tidak apa-apa, tenang saja."

"Baguslah kau bisa tertawa, meskipun hanya tertawa kecil." Austin tersenyum lega.

"Ya, kurasa begitu."

"Ini. Mudah-mudahan kau jadi lebih tenang setelah minum ini." Austin menyodorkan sekaleng cappuccino.

"Aah, thank you very much. I hope so." Felice tersenyum manis.

Berawal dari pertemuan itu, Felice dan Austin pun akhirnya menjadi sepasang kekasih. Semenjak berpacaran dengan Austin, Felice sangat merasakan perbedaan sifat yang dimiliki Justin dengan sepupunya ini. Dan Felice berharap, semoga dengan adanya Austin, dia bisa melupakan Justin sepenuhnya.
***
To be continued_


Nisa R.I
01042013

Minggu, 31 Maret 2013

Right Here(part 1)



And I say, a good girl got her mind right.
She been raised right, being patient I know you waiting.
Waiting on a good thing, when the time's right.
You should let me get to know you baby.


"Excuse me, ma'am!" Felicia mengangkat tangannya.

Sontak, Mrs.Elizabeth dan anak-anak lainnya di ruang musik menghentikan permainan musiknya. Semuanya melihat ke arah Felicia termasuk Mrs.Elizabeth.

"Ya, ada apa Miss.Hudson?" tanyanya pada Felicia.

"Boleh saya ijin ke toilet?" pinta Felicia.

"Ya, silahkan. Ah, tapi ingat, jangan lama-lama." ucap Mrs.Elizabeth yang tersenyum.

"Yes, thank you." Felicia beranjak dari kursinya.

Felicia menutup pintu ruangan, kemudian segera berjalan menuju ke koridor. Sebenarnya memang dari awal ia tidak berniat pergi ke kamar mandi. Tetapi ia ingin pergi ke tempat loker yang ada di koridor. Felicia pun sampai di depan loker yang ia tuju. Di depan loker itu tertulis nama seseorang yang sangat dia suka, JUSTIN. Begitulah tulisan yang tertera.

Felicia menoleh ke kanan-kiri memeriksa kalau tidak ada orang yang melihatnya. Saat dirasa sudah aman, ia mengeluarkan sebuah amplop warna putih dan memasukkannya ke dalam kantong surat yang tergantung di loker Justin. Kantong surat itu sengaja di taruh oleh penggemarnya Justin.

Ya, Justin adalah idola di sekolah itu, Gliford High School. Meskipun ia terkenal sebagai Bad Boy, namun entah bagaimana banyak perempuan yang justru jadi penggemarnya. Tidak terkecuali Felicia. Felicia tahu Justin tidak menyukai perempuan yang gemuk. Felicia juga tahu berarti tidak mungkin Justin menyukainya dengan bentuk badan yang sekarang. Karenanya, Felicia bertekad untuk melakukan diet serta olahraga ketat. Untuk saat ini, Felice--begitulah sapaan akrab untuk gadis ini--hanya bisa menyukai Justin secara diam-diam. 

Sesudah memasukkan amplop itu, Felicia pun berjalan kembali ke ruang musik dengan senyum mengembang di wajahnya.
***
Empat bulan kemudian..
Diet dan olahraga ketat yang dilakukan Felicia membuahkan hasil yang memuaskan. Kini dia menjadi sangat cantik, dengan badan yang ideal. Murid-murid sampai tidak mengenalinya. Namun hal itu terjawab ketika Mrs.Taylor mengabsen nama Felicia. Semua murid di kelas memandangi Felicia. Bahkan Mrs.Taylor pun sempat heran dengan Felicia yang sekarang. Justin yang juga satu kelas dengannya, melakukan hal yang sama dengan murid-murid lain.

Tiga minggu berlalu. Meskipun Felice sudah berubah, namun ia masih saja menyukai Justin secara diam-diam. Ia masih diam-diam memasukkan amplop putih ke dalam kantung surat, menaruh sebotol air minum segar di atas meja Justin sehabis olahraga, dll.

Felicia baru akan membuka lokernya kalau saja selembar kertas itu tidak mengganggunya. Ia pun mengambil selembar kertas yang ditempel di pintu lokernya, membuka lipatan kertas itu, kemudian membacanya,

Temui aku di taman belakang, pulang sekolah.
                                    -Justin

Niat Felice untuk pulang ke rumah cepat, terpaksa tertunda. Ia segera menuju taman belakang. Disana, ia benar-benar melihat Justin. Dan disana pulalah kejadian yang tak disangka-sangka terjadi. Justin menyatakan cinta kepada Felicia. Mulai saat itulah mereka resmi menjadi sepasang kekasih.
***
Semenjak Justin dan Felice jadian, Justin seringkali mengantar Felice. Namun, hari ini berbeda. Karena Justin ada urusan lain dan Felice mengikuti kelas musik tambahan. Mereka pun memutuskan untuk tidak pulang bersama.

Di tengah perjalanan pulang, Felice tidak sengaja melihat sosok Justin yang sedang dipukuli oleh sekelompok  preman di gang kecil. Sepertinya Justin juga memukul preman itu, melihat luka yang ada di wajah mereka. Felice segera menghampiri Justin yang telah ambruk. Ia dengan berani membela Justin. Namun justru ia yang dikeroyok. Salah satu preman memegang pergelangan tangan Felice dengan erat. Melihat itu Justin bangkit kembali dan menghajar preman-preman itu. Sampai akhirnya teman-teman Justin datang, dan preman itu pun kabur.

"Are you okay?" tanya Justin kepada Felice. Ia khawatir karena tadi Felice sempat di dorong ke tembok oleh preman-preman itu. Ia pun membantu Felice berdiri.

"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu kepadamu. Lihat, wajahmu penuh dengan luka." ucap Felice sembari memegang wajah Justin.

"Ouch." Justin meringis kaget.

"See? Lebih baik kita ke apartemenmu sekarang. Akan aku obati lukamu di sana." ucap Felice tersenyum, mencoba terlihat tenang.

"Aku tidak apa-apa. Ini hal yang biasa. But, well, aku rasa kau benar. Lebih baik kita ke apartemenku sekarang." tutur Justin.

Sesampainya di apartemen, Justin dan Felicia duduk di sofa depan tempat tidur. Felicia mencurahkan waktunya untuk merawat memar yang ada di tubuh dan luka yang ada wajah Justin. Ia memasangkan plester di wajah Justin.

"Done!" ucap Felice tersenyum riang.

"Thanks." Justin tersenyum tipis, kemudian memalingkan wajah, menatap kosong benda di depannya.

Felice menatap ke arah Justin. Ia maklum dengan sikap Justin. Karena dia tahu Justin adalah bad boy. Namun, Felice justru suka dengan dia yang seperti itu. Felice suka semua tentang Justin. 

"You're welcome.." Felice memasang senyum termanisnya.

"Okay, so.. sekarang kamu butuh apa? Mau makanan, minuman atau-"

"Tidur." sela Justin.

"Syukurlah.. Itu juga sebenarnya yang ku mau."

Justin mengangkat alisnya, meminta penjelasan. 

"Aku ingin kau istirahat. Tapi aku takut kau punya keinginan lain." ucap Felice.

Justin mengangguk, kemudian mencoba berdiri, namun memar di perutnya masih terasa sakit. Felice pun membantunya berjalan menuju tempat tidur. Justin berbaring di tempat tidurnya. Felice membantu menyelimuti Justin.

"Selamat tidur.." Felice mengecup lembut pipi Justin, kemudian tersenyum.

"Ya.." Justin tersenyum, kemudian memejamkan matanya.

Felice meraih handphonenya di dalam saku celana jeansnya. Ia berjalan keluar dari kamar Justin. Ia menelpon ibunya, memberi tahu dimana dia sekarang dan kemungkinan dia akan pulang telat.
Selesai menelpon ibunya, Felice menuju ke dapur, membuatkan makanan untuk Justin. Disela-sela itu, dia menyadari bahwa Justin memang bukan tipikal yang romantis. Ia malah terkesan cuek. Tapi yaa, Felice pikir, 'jalani saja, toh aku suka dia'. Beberapa menit kemudian makanan sudah siap, tapi Justin belum bangun. Untuk itu, dia menaruhnya di meja sebelah tempat tidur. Dan menulis pesan di atas kertas agar Justin memakannya. Selesai itu, Felice pun pulang ke rumahnya.
***
To be continued_

Nisa R.I
31032013

Dedicated to: Fida D.F







Sabtu, 16 Juni 2012

[Prolog] ALONE



"Hei tunggu!"

Aku tidak mengindahkan teriakan anak lelaki itu dan memaksa kakiku untuk tetap melangkah menyusuri jalanan komplek perumahan. Kusadari ia mengikutiku dibelakang.

"Hei! Sudah kubilang tunggu! Kau.."

Aku tetap mengabaikannya dan  kudengar napasnya terengah-engah. Bagus. Itu berarti dia sudah lelah, dan menyerah, memilih untuk di-.

"Rinaaa!!"

Oke, perkiraanku meleset. Dan justru kali ini teriakannya mempengaruhiku. Aku segera menoleh kearahnya. Saat itu juga kulihat ia tersenyum begitu bahagia, seperti habis memenangkan kejuaraan marathon. Aku menatapnya heran, tak suka.

"Darimana kau tahu namaku?" tanyaku ketus.

Dia malah membalas dengan senyum dan berusaha berjalan kearahku.

"Berhenti!" kataku dengan sedikit berteriak.

Rupanya lelaki itu menghiraukan peringatan dariku.

"Aku bilang berhenti!!! Apa kau tuli?!" kali ini aku benar-benar berteriak.

Anak laki-laki itu terkejut dan menghentikan langkahnya. Aku menatapnya geram.

"Kau belum menjawab pertanyaanku. Dariman kau tahu namaku?" tanyaku dengan tatapan setajam elang.

"Bukankah itu hal yang mudah untuk mengetahui namamu? Kita ini satu sekolah, bahkan sekarang kita menjadi tetangga. Dan kau tahu, kita sedang berdiri tepat di depan rumahku," ucapnya santai.

'Cih. Aku tidak peduli itu.' umpatku dalam hati. Yang aku peduli kan sekarang adalah bagaimana cara dia mengetahui namaku; apa temanku memberitahunya atau dari sapaan orang-orang? Aku sedang sibuk memikirkan itu hingga ku sadari dia sudah berada di depanku. Mataku membelalak ketika tahu itu. Dia menyodorkan sebuah buku, dan itu milikku.

"Ini. Tadi kau tidak sengaja menjatuhkannya," seulas senyum terlukis di bibirnya.

Ku ambil paksa bukuku yang ada ditangannya. Segera ku berbalik dan melangkahkan kaki. Namun baru beberapa langkah berjalan, aku teringat sesuatu. Aku menghentikan langkahku. Dengan nada dingin aku berkata,

"Jangan pernah mengira aku akan berterimakasih padamu. Karena memang tidak akan kulakukan. Dan karena," aku mengambil jeda sedikit.

"Aku benci laki-laki!" kali ini aku melakukan penekanan di kalimat terakhir.

Aku melanjutkan langkahku dan kali ini aku sudah benar-benar tidak peduli lagi terhadap anak itu.

^End